Senin, 23 November 2009

Manusia Sebagai Subyek Hukum

Manusia Sebagai Subyek Hukum

Written by DESHINTA ALVIE YUNITA on November 24, 2009 – 9:28 am
Pengertian Subyek Hukum :
Subyek hukum ialah pemegang hak dan kewajiban menurut hukum. Dalam kehidupan sehari-hari, yang menjadi subyek hukum dalam sistem hukum Indonesia, yang sudah barang tentu bertitik tolak dari sistem hukum Belanda, ialah individu (orang) dan badan hukum (perusahaan, organisasi, institusi).
(sumber : Wikipedia )
Manusia Sebagai Subyek Hukum
Berdasarkan rangkuman diatas penulis menyimpulkan bahwa manusia sebagai subyek hukum adalah sebagai pelaku dan pelaksana kegiatan hukum yang ada , manusia tidak bisa lepas dari peraturan hak dan kewajibannnya,selain itu Manusia dan hukum adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan dalam ilmu hukum, terdapat adagium yang terkenal yang berbunyi: “Ubi societas ibi jus” (di mana ada masyarakat di situ ada hukumnya). Artinya bahwa dalam setiap pembentukan suatu bangunan struktur sosial yang bernama masyarakat, maka selalu akan dibutuhkan bahan yang bersifat sebagai “semen perekat” atas berbagai komponen pembentuk dari masyarakat itu, dan yang berfungsi sebagai “semen perekat” tersebut adalah hukum.
Manusia, disamping bersifat sebagai makhluk individu, juga berhakekat dasar sebagai makhluk sosial, mengingat manusia tidak dilahirkan dalam keadaaan yang sama (baik fisik, psikologis, hingga lingkungan geografis, sosiologis, maupun ekonomis) sehingga dari perbedaan itulah muncul inter dependensi yang mendorong manusia untuk berhubungan dengan sesamanya. Berdasar dari usaha pewujudan hakekat sosialnya di atas, manusia membentuk hubungan sosio-ekonomis di antara sesamanya, yakni hubungan di antara manusia atas landasan motif eksistensial yaitu usaha pemenuhan kebutuhan hidupnya (baik fisik maupun psikis). Dalam kerangka inter relasi manusia di atas motif eksistensial itulah sistem hubungan sosial terbentuk.
Fakta bahwa kita hidup dalam berbagai bentuk hubungan sosial, hubungan budaya dan hubungan teknologi, telah membuat kita cemas didalam menghayati Identitas kita sebagai manusia. Mengejar identitas kemanusiaan dengan cara kekerasan adalah irasionalitas tertinggi manusia, karena justeru dengan itu, pengertian kemanusiaan yaitu kemampuan untuk mencapai pemahaman, direndahkan menjadi untuk memusnahkan. Kesadaran akan HAM memang memerlukan bukan sekedar kampanye publik, tetapi memerlukan sistem penamaan sejak dini, yaitu melalui sistem pendidikan yang secara sengaja mamasukkan pelajaran HAM sebagai salah satu mata pelajaran inti, dasar pemikirannya bahwa adalah negara membutuhkan basis kesadaran hak yang kuat agar demokrasi dikembangkan secara melembaga.
(Sumber Informasi : joeniarianto)

Hubungan Peraturan Pemerintah dan Perundang – undangan Terhadap Perekonomian dan Bisnis Kewirausahaan

Hubungan Peraturan Pemerintah dan Perundang – undangan Terhadap Perekonomian dan Bisnis Kewirausahaan

Written by DESHINTA ALVIE YUNITA on November 24, 2009 – 12:35 am

Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa prinsip berdirinya sebuah perusahaan adalah untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Mau tidak mau, perusahaan harus merealisasikan hal tersebut agar roda perusahaan tetap bisa berputar. Menjamurnya perusahaan baik di kota besar maupun di kota berkembang yang ada di wilayah nusantara telah memberikan kontribusi positif sekaligus negatif. Dengan berdirinya suatu perusahaan (produksi/jasa) di pemukiman biasanya ikut membantu meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar, salah satunya karena telah membuka lapangan pekerjaan.
Dampak negatif dari berdirinya sebuah perusahaan dirasakan saat perusahaan bukan hanya semakin kaya, tetapi juga semakin berkuasa, sementara jumlah penduduk miskin dan lemah serta rentan secara sosial, ekonomi, politik, kesehatan dan lingkungan semakin banyak. Dalam hal ini, kemajuan perusahaan ternyata menyumbangkan ketidakadilan dan kesenjangan sosial. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi tidak selalu sejalan dengan pemerataan atau distribusi kesejahteraan.
Pemerintah melihat hal ini sebagai indikasi yang tidak baik dalam perekonomian bangsa, sehingga untuk mengatur keberadaan dan pedoman suatu perusahaan dalam menjalankan roda perusahaannya serta mencegah terjadinya pertumbuhan ekonomi yang menyimpang, dikeluarkanlah Undang–undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Dalam undang-undang yang baru ini, terdapat satu pasal yang menjelaskan tentang kewajiban lain suatu perusahaan yaitu tanggungjawabnya kepada sosial dan lingkungan, yaitu Pasal 74 yang terdiri atas 4 ayat, yaitu:
1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan/atau berkaitan dengan
sumberdaya alam wajib melaksanakan tanggungjawab sosial dan lingkungan.
2) Tanggungjawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang
pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggungjawab sosial dan lingkungan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Dengan dikeluarkannya undang-undang tersebut, perusahaan saat ini berlomba-lomba dan berusaha untuk memberikan kontribusi secara maksimal kepada sosial dan lingkungan, entah untuk “benar-benar” berkontribusi terhadap bangsa atau hanya untuk “memenuhi peraturan” sehingga ada legalitas terhadap keberadaan perusahaan karena telah memenuhi aturan tersebut. Istilah kepedulian perusahaan dalam bidang sosial dan lingkungan lebih dikenal dengan CSR (Corporate Social Responsibility).
Pro dan kontra bermunculan dengan dikeluarkannya undang-undang tersebut. Banyak kalangan LSM melihat bahwa perusahaan hanya berbasa-basi ketika melakukan CSR. Kadin dan sejumlah asosiasi pengusaha menolak UU itu, tetapi pemerintah tetap mengesahkannya. Kekhawatiran mereka adalah UU itu menjadi sumber legitimasi praktek pungutan liar karena peraturan itu mencakup kewajiban bagi perusahaan untuk mengalokasikan dana CSR. Begitu seriusnya polemik ini terjadi, hingga wakil presiden pun berusaha meredamnya dengan menyatakan agar perusahaan tidak khawatir pada pengelolaan CSR.
Sedangkan Erna Witoelar selaku Duta Besar Millenium Development Goals (MDGs) menegaskan bahwa kontribusi korporat dalam pembangunan dan pengembangan Indonesia tak hanya ditentukan lewat kegiatan bisnis, tetapi juga pada beberapa kontribusinya terhadap lingkungan sekitar (Warta Ekonomi, 23 Juli 2007).
Banyak perusahaan swasta kini mengembangkan apa yang disebut Corporate Social Responsibility (CSR), yaitu pengambilan keputusan yang dikaitkan dengan nilai-nilai etika, memenuhi kaidah-kaidah dan keputusan hukum dan menghargai manusia, masyarakat dan lingkungan. Ada berbagai penafsiran tentang CSR dalam kaitan aktifitas atau perilaku suatu perusahaan, namun yang paling banyak diterima saat ini adalah pendapat bahwa yang disebut CSR adalah yang sifatnya melebihi (beyond) laba, melebihi hal-hal yang diharuskan peraturan dan melebihi sekedar public relations.
Menurut Bank Dunia, tanggungjawab sosial perusahaan terdiri dari beberapa komponen utama: perlindungan lingkungan, jaminan kerja, hak azasi manusia, interaksi dan keterlibatan perusahaan dengan masyarakat, standar usaha, pasar, pengembangan ekonomi dan badan usaha, perlindungan kesehatan, kepemimpinan dan pendidikan, bantuan bencana kemanusiaan. Banyak perusahaan di dunia yang makin meyakini bahwa CSR adalah mutlak untuk membangun citra yang lebih baik dan kredibel, dan bahwa inisiatif – inisiatif CSR berwawasan sosial dan lingkungan akan berdampak positif bagi kinerja finansial dan menjamin sukses berkelanjutan bagi suatu perusahaan.
Khusus tentang CSR, PPM Institute of Management terlibat dalam suatu proyek dari ADSGM (Association of Deans of Southeast Asian Graduate School of Management) dimana STM-PPM adalah salah satu pendiri. Proyek CSR ini didasari suatu observasi bahwa perusahaan-perusahaan di Asia tampaknya kurang peduli terhadap CSR (dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan di Barat) sehingga diputuskan untuk menaikkan “awareness” dan kepedulian perusahaan-perusahaan di Asia tersebut dengan menulis kasus-kasus tentang CSR di Asia.
Berbagai bentuk realisasi CSR dilaksanakan oleh perusahaan, mulai dari bakti sosial, beasiswa, hingga pemberian uang tunai kepada UMKM. Tetapi ada pihak yang tidak sepakat dengan pemberian uang tunai ini. Mereka menganggap bahwa pemberian dana tunai hanya akan menciptakan ketergantungan masyarakat pada perusahaan bersangkutan. Selain alasan yang dikemukan tersebut, mereka juga beranggapan bahwa CSR seharusnya merupakan program panjang ke depan, dengan kata lain tidak ada instan CSR.
Penulis : Anastasia Dwifebri Martanti
( Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia )
http://www.isei.or.id/page.php?id=5aug073
Peran sektor usaha dalam pemenuhan, pemajuan, dan perlindungan HAM di Indonesia tidak lepas dari Global Compact
yang digulirkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) (tahun 1999) dan dokumen PBB tentang tanggung jawab perusahaan (transnational) terhadap HAM (disahkan dalam tahun 2003). Bersama-sama dengan sepuluh asas Global Compact (GC), maka konsep Corporate Social Responsibilities (CSR) sekarang merupakan bagian pedoman melaksanakan Good Corporate Governance (GCG). Sekarang, masalah etika bisnis dan akuntabilitas bisnis makin mendapat perhatian masyarakat di beberapa negara maju, yang biasanya sangat liberal dalam menghadapi perusahaan-perusahaannya, mulai terdengar suara bahwa karena “self-regulation” terlihat gagal, maka diperlukan peraturan (undang-undang) baru yang akan memberikan “higher standards for corporate pratice” dan “tougher penalties for executive misconduct”
Asas-asas dalam GC ini dapat ditemukan pula dalam berbagai peraturan perundang-undangan kita, khususnya mengenai ketenagakerjaan, perlindungan lingkungan hidup, dan pemberantasan korupsi. Tentang HAM kita tentu merujuk kepada KomNas HAM dan Konstitusi (UUD 1945) kita yang mempunyai Bab XA tentang HAM (Pasal 28 A s/d Pasal 28J – Perubahan II tahun 2002)(2).Dalam Kerangka Acuan (TOR) pertemuan ini antara lain dijelaskan bahwa Corporate Social ResponsibillitY (CSR) telah diterapkan oleh sejumlah perusahaan multinasional dan nasional di Indonesia. Umumnya kepatuhan dan pelaksanaan CSR ini dikaitkan dengan program Community Development (CD) dan dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).
Sebenarnya CSR tidak saja berhubungan dengan CD, justru CSR harusnya lebih terkait pada GC. Sebagaimana kita tahu GC adalah sejumlah asas yang berlaku secara sukarela pada perusahaan yang mau turut serta dalam GC tersebut.
Peningkatan CSR akan memperkuat pengaruh GC pada perilaku perusahaan (corporate behaviour).
http://www.duniaesai.com/hukum/hukum5.html

Manfaat Ilmu Hukum di Fakultas Ekonomi

Manfaat Ilmu Hukum di Fakultas Ekonomi

November 24, 2009
Diarsipkan di bawah: Uncategorized @ 8:15 am
Written by DESHINTA ALVIE YUNITA on November 24, 2009 – 12:35 am

Hukum perdata
Salah satu bidang hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara individu-individu dalam masyarakat dengan saluran tertentu. Hukum perdata disebut juga hukum privat atau hukum sipil. Salah satu contoh hukum perdata dalam masyarakat adalah jual beli rumah atau kendaraan .
Hukum perdata dapat digolongkan antara lain menjadi:
1.Hukum keluarga
2.Hukum harta kekayaan
3.Hukum benda
4.Hukum Perikatan
5.Hukum Waris
Manfaat yang saya dapat dari mempelajari ilmu hukum di fakultas ekonomi adalah:
a. Dapat mengetahui bagaimana ilmu hukum di aplikasikan ke dalam ekonomi
b. Mengetahui unsur-unsur hukum perekonomian
c. Mengetahui sistem hukum di Indonesia
d. Memperluas wawasan mahasiswa dalam hukum khususnya bidang ekonomi
e. Mepersempit resiko dalam kecurangan sistem ekonomi
f. Mengetahui batasan-batasan dalam penerapan ilmu hukum pada perekonomian
Ada beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia dan perbedaan sistem hukum tersebut juga mempengaruhi bidang hukum perdata, antara lain sistem hukum Anglo-Saxon (yaitu sistem hukum yang berlaku di Kerajaan Inggris Raya dan negara-negara persemakmuran atau negara-negara yang terpengaruh oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat), sistem hukum Eropa kontinental, sistem hukum komunis, sistem hukum Islam dan sistem-sistem hukum lainnya. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan.
 
google.com

Rabu, 04 November 2009

Manusia Sebagai Subjek Hukum

Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdata Barat (2)
By : Deshinta Alvie Yunita 3DD01


Kamis, 05 November 2009 12:40


Hukum Orang :
• Dalam arti sempit
Hukum orang hanya ketentuan orang sebagai subjek hukum
• Dalam arti luas
Hukum orang tidak hanya ketentuan orang sebagai subjek hukum tetapi juga termasuk
aturan hukum keluarga

SUBJEK HUKUM
Subjek hukum adalah pembawa hak dan kewajiban.
Kategori Subjek Hukum :
1. Manusia (Natuurlijk Persoon)
2. Badan Hukum (Rechts persoon)

Natuurlijk Persoon / Manusia
Berlakunya seseorang sebagai pembawa hak, mulai dari saat dia lahir dan berakhir pada saat ia meninggal.
Terdapat pengecualian :
Dapat dihitung surut, apabila memang untuk kepentingannya, dimulai ketika orang tersebut masih berada di dalam kandungan ibunya. (Teori Fiksi Hukum)
Hal ini terdapat pada Pasal 2 KUHPer, bahwa bayi yang masih ada di dalam kandungan ibunya dianggap telah lahir dan menjadi subjek hukum jika kepentingannya mengehendaki seperti dalam hal kewarisan. Namun, apabila lahir dalam keadaan meninggal dunia, maka menurut hukum ia dianggap tidak pernah ada, sehingga ia bukan termasuk subjek hukum
Jadi, syarat – syarat terjadinya teori fiksi hukum adalah :
1. Telah dibenihkan
2. Lahir dalam keadaan hidup
3. Ada kepentingan yang menghendaki

KECAKAPAN BERTINDAK HUKUM
Golongan manusia yang tidak cakap menurut hukum diatur di dalam Pasal 1330 KUHP :
1. Anak dibawah umur, belum dewasa dan belum menikah
2. Orang yang berada di bawah pengampuan (Curatele) yaitu orang yang sakit ingatan, pemabuk, pemboros
3. Wanita bersuami

Namun, dengan adanya Pasal 31 UU No.1/1974 dan SEMA No.3/1963, maka Pasal yang mengatur ini dihapuskan, dan kedudukan istri seimbang dengan suami.

KEDEWASAAN
Kedewasaan seseorang berbeda menurut UU :
• KUHPerdata / BW
Kedewasaan seseorang adalah usia 21 tahun atau telah menikah
Pasal 330 KUHPer
• UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 47, menyatakan anak yang sudah berumur 18 tahun
Pasal 50, menyatakan seseorang dianggap dewasa apabila sudah mencapai umur 18 tahun, tidak berada di bawah kekuasaan orangtua
• Menurut Prof. Wahyono, usia dewasa adalah usia 21 tahun atau sudah pernah menikah. Karena :
1. UU perkawinan tidak mengatur masalah kedewasaan dan tidak menyebutkan batas usia dewasa adalah 18 tahun
2. Usia menikah adalah 19 tahun dan 16 tahun menuru UU no.1
PENDEWASAAN / HANDLICHTING
Suatu lembaga hukum agar semua orang yang belum dewasa tetapi telah menempuh syarat – syarat tertentu dalam hal tertentu dan sampai batas – batas tertentu menurut ketentuan UU memiliki kedudukan hukum yang sama dengan orang dewasa.
Macam – macam Handlichting
• Pendewasaan penuh ( Venia Aetatis, Pasal 420 – 425 KUHPer)
Syarat, berusia 20 tahun dan telah mengajukan permohonan kepada Presiden
• Pendewasaan Terbatas (Pasal 426 – 431 KUHPer)
Syarat, berusia 18 tahun, diajukan kepada Pengadilan Negeri, dan dapat ditarik kembali. Pendewasaan ini hanya untuk hal – hal tertentu sifat kedewasaannya, misalkan hanya untuk hal waris saja)
Badan Hukum / Rechts Persoon
Suatu perkumpulan atau lembaga yang dibuat oleh hukum dan mempunyai tujuan tertentu
Ciri – ciri Badan Hukum
1. Kekayaan terpisah
2. Organisasi teratur
3. Ada tujuan tertentu
4. Ada pengurus

Pembagian Badan Hukum
Pembagian badan hukum menurut :

• Sifat :
1. Mengejar keuntungan ekonomi : Koperasi dan PT
2. Bersifat ideal : Yayasan dan partai politik
• Pendiriannya :
1. Berdasarkan UU : Lembaga Negara dan Perusahaan Umum
2. Diakui pemerintah berdasarkan UU melalui proses pendaftaran : PT (UU No. 1/1995 digantikan dengan UU No. 40/2007), Koperasi (UU No.26/1992), Yayasan (UU No.16/ 2001)

• Cirinya:
1. Ada harta kekayaan
2. Ada tujuan tertentu
3. Ada kepentingan
4. Ada organisasi teratur

LAHIRNYA BADAN HUKUM
Syarat sahnya badan hukum adalah :
1. Akte pendirian di depan Notaris
2. Disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM
3. Didaftarkan (Dept. Perindustrian dan Perdaganga)
4. Diumumkan di berita negara

Teori Badan Hukum
1. Teori Fiksi ( Karl von Savigny)
2. Badan hukum pengaturannya oleh negara. Oleh karena itu badan hukum sebenarnya tidak ada. Badan hukum adalah orang buatan hukum
3. Teori Kekayaan / Harta (Holder dan Binder)
Badan hukum adalah suatu badan yang mempunyai harta dan berdiri sendiri yang tidak dimiliki oleh badan hukum itu tetapi oleh pengurusnya diserahi tugas untuk mengurus

Teori Organ
Badan hukum bukan merupakan suatu fiksi melainkan makhluk yang sungguh – sungguh ada dan mempunyai organ – organ yang dapat berpikir dan bertindak sebagai subjek hukum

DOMISILI
Domisili adalah tempat dimana seseorang berada dalam kaitan dengan pelaksanaan hak dan penentuan kewajiban dianggap oleh hukum selalu hadir. (Pasal 17 – 25 KUHPer)
Macam – Macam Domisili
• Domisili Sesungguhnya
a. Sukarela (Pasal 17, 18 dan 19 KUHPer)
Tempat kediaman dimana seseorang dengan bebas dan menurut pendapatnya sendiri dapat menciptakan keadaan – keadaan tertentu di tempat tertentu atau di rumah tertentu
b. Wajib ( Pasal 20, 21, 22 KUHPer)
Tempat kediaman yang ditentukan oleh hubungan yang ada antara seseorang dengan orang lain.

Contoh :
- Istri dianggap bertempat tinggal di tempat tinggal suami
- Anak dibawah umur dianggap bertempat tinggal di tempat tinggal keluarganya atau wali
- Buruh Pekerja (Pasal 22 KUHPer), dianggap bertempat tinggal di tempat tinggal majikannya, kalau mereka ikut tinggal di tempat tinggal tersebut
- Mereka yang berada di bawah pengampuan, di tempat pengampunya

• Domisili yang dipilih adalah tempat tinggal yang ditunjuk oleh satu pihak atau lebih dalam hubungan dengan melaksanakan perbuatan tertentu, terdiri dari :
• Ditentukan undang – undang seperti dalam pasal 11 ayat 1b UU Hak Tanggungan
• Dipilih secara bebas

/AP Darell/fhui
Kepustakaan: 1. Pokok-Pokok Hukum Perdata (Prof. Subekti, SH)
2. Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdata Barat (Dr.Wienarsih Imam
Subekti,SH,MH, Sri Soesilowati Mahdi, SH)